Pemecahan Masalah

Februari 10, 2008 at 9:18 am (rahasia, Uncategorized)

Pemecahan Masalah Secara Analitis dan Kreatif

Pemecahan masalah didefinisikan sebagai suatu proses penghilangan perbedaan atau ketidak-sesuaian yang terjadi antara hasil yang diperoleh dan hasil yang diinginkan (Hunsaker, 2005). Salah satu bagian dari proses pemecahan masalah adalah pengambilan keputusan (decision making), yang didefinisikan sebagai memilih solusi terbaik dari sejumlah alternatif yang tersedia (Hunsaker, 2005). Pengambilan keputusan yang tidak tepat, akan mempengaruhi kualitas hasil dari pemecahan masalah yang dilakukan.

Kemampuan untuk melakukan pemecahan masalah adalah ketrampilan yang dibutuhkan oleh hampir semua orang dalam setiap aspek kehidupannya. Jarang sekali seseorang tidak menghadapi masalah dalam kehidupannya sehari-hari. Pekerjaan seorang manajer, secara khusus, merupakan pekerjaan yang mengandung unsur pemecahan masalah di dalamnya. Bila tidak ada masalah di dalam banyak organisasi, mungkin tidak akan muncul kebutuhan untuk mempekerjakan para manajer. Untuk itulah sulit untuk dapat diterima bila seorang yang tidak memiliki kompetensi untuk menyelesaikan masalah, menjadi seorang manajer (Whetten & Cameron, 2002).

Ungkapan di atas memberikan gambaran yang jelas kepada kita semua bahwa sulit untuk menghindarkan diri kita dari masalah, karena masalah telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan kita, baik kehidupan sosial, maupun kehidupan profesional kita. Untuk itulah penguasaan atas metode pemecahan masalah menjadi sangat penting, agar kita terhindar dari tindakan Jump to conclusion, yaitu proses penarikan kesimpulan terhadap suatu masalah tanpa melalui proses analisa masalah secara benar, serta didukung oleh bukti-bukti atau informasi yang akurat. Ada kecenderungan bahwa orang-orang, termasuk para manajer mempunyai kecenderungan alamiah untuk memilih solusi pertama yang masuk akal yang muncul dalam benak mereka (March & Simon, 1958; March, 1994; Koopman, Broekhuijsen, & Weirdsma, 1998). Sayangnya, pilihan pertama yang mereka ambil seringkali bukanlah solusi terbaik. Secara tipikal, dalam pemecahan masalah, kebanyakan orang menerapkan solusi yang kurang dapat diterima atau kurang memuaskan, dibanding solusi yang optimal atau yang ideal (Whetten & Cameron, 2002). Pemecahan masalah yang tidak optimal ini, bukan tidak mungkin dapat memunculkan masalah baru yang lebih rumit dibandingkan dengan masalah awal.

Pemecahan masalah dapat dilakukan melalui dua metode yang berbeda, yaitu analitis dan kreatif. Untuk dapat memberikan gambaran yang lebih baik tentang pemecahan masalah secara analitis dan kreatif, serta perbedaan-perbedaan yang ada diantara keduanya, maka pada bagian berikut , saya akan menjelaskan secara singkat hal tersebut di atas.

I. Pemecahan Masalah Secara Analitis

Metode penyelesaian masalah secara analitis merupakan pendekatan yang cukup terkenal dan digunakan oleh banyak perusahaan, serta menjadi inti dari gerakan peningkatan kualitas (quality improvement). Secara luas dapat diterima bahwa untuk meningkatan kualitas individu dan organisasi, langkah penting yang perlu dilakukan adalah mempelajari dan menerapkan metode pemecahan masalah secara analitis (Juran, 1988; Ichikawa, 1986; Riley, 1998). Banyak organisasi besar (misalnya : Ford Motor Company, General Electric, Dana) menghabiskan jutaan Dolar untuk mendidik para manajer mereka tentang metode pemecahan masalah ini sebagai bagian dari proses peningkatan kualitas yang ada di organisasi mereka (Whetten & Cameron, 2002). Pelatihan ini penting agar para manajer dapat berfungsi efektif, yang salah satu cirinya adalah pada kemampuannya untuk memecahkan masalah. Hal ini sejalan dengan pendapat dari Hunsaker (2005) yang menyatakan bahwa manajer yang efektif, seperti halnya Pemimpin Eksekutif Porsche, Wendelin Wiedeking, mengetahui cara mengumpulkan dan mengevaluasi informasi yang dapat menerangkan tentang masalah yang terjadi, mengetahui manfaatnya bila kita memiliki lebih dari satu alternatif pemecahan masalah, dan memberikan bobot kepada semua implikasi yang dapat terjadi dari sebuah rencana, sebelum menerapkan rencana yang bersangkutan.

A. Definisikan Masalah

Langkah pertama yang perlu dilakukan dengan metode analitis adalah mendefinisikan masalah yang terjadi. Pada tahap ini, kita perlu melakukan diagnosis terhadap sebuah situasi, peristiwa atau kejadian, untuk memfokuskan perhatian kita pada masalah sebenarnya, dan bukan pada gejala-gejala yang muncul. Sebagai contoh : Seorang manajer yang mempunyai masalah dengan staf-nya yang kerapkali tidak dapat menyelesaikan pekerjaannya pada waktu yang telah ditentukan. Masalah ini bisa terjadi karena, cara kerja yang lambat dari staf yang bersangkutan. Cara kerja yang lambat, bisa saja hanya sebuah gejala dari permasalahan yang lebih mendasar lagi, seperti misalnya masalah kesehatan, moral kerja yang rendah, kurangnya pelatihan atau kurang efektifnya proses kepemimpinan yang ada.

Agar kita dapat memfokuskan perhatian kita pada masalah sebenarnya, dan bukan pada gejala-gejala yang muncul, maka dalam proses mendefiniskan suatu masalah, diperlukan upaya untuk mencari informasi yang diperlukan sebanyak-banyaknya, agar masalah dapat didefinisikan dengan tepat.

Berikut ini adalah beberapa karakteristik dari pendefinisian masalah yang baik:

  1. Fakta dipisahkan dari opini atau spekulasi. Data objektif dipisahkan dari persepsi
  2. Semua pihak yang terlibat diperlakukan sebagai sumber informasi
  3. Masalah harus dinyatakan secara eksplisit/tegas. Hal ini seringkali dapat menghindarkan kita dari pembuatan definisi yang tidak jelas
  4. Definisi yang dibuat harus menyatakan dengan jelas adanya ketidak-sesuaian antara standar atau harapan yang telah ditetapkan sebelumnya dan kenyataan yang terjadi.
  5. Definisi yang dibuat harus menyatakan dengan jelas, pihak-pihak yang terkait atau berkepentingan dengan terjadinya masalah.
  6. Definisi yang dibuat bukanlah seperti sebuah solusi yang samar. Contoh: Masalah yang kita hadapi adalah melatih staf yang bekerja lamban.

B. Buat Alternatif Pemecahan Masalah.

Langkah kedua yang perlu kita lakukan adalah membuat alternatif penyelesaian masalah. Pada tahap ini, kita diharapkan dapat menunda untuk memilih hanya satu solusi, sebelum alternatif solusi-solusi yang ada diusulkan. Penelitian-penelitian yang pernah dilakukan dalam kaitannya dengan pemecahan masalah (contohnya oleh March, 1999) mendukung pandangan bahwa kualitas solusi-solusi yang dihasilkan akan lebih baik bila mempertimbangkan berbagai alternatif (Whetten & Cameron, 2002).

Berikut adalah karakteristik-karakteristik dari pembuatan alternatif masalah yang baik:

  • Semua alternatif yang ada sebaiknya diusulkan dan dikemukakan terlebih dahulu sebelum kemudian dilakukannya evaluasi terhadap mereka.
  • Alternatif-alternatif yang ada, diusulkan oleh semua orang yang terlibat dalam penyelesaian masalah. Semakin banyaknya orang yang mengusulkan alternatif, dapat meningkatkan kualitas solusi dan penerimaaan kelompok.
  • Alternatif-alternatif yang diusulkan harus sejalan dengan tujuan atau kebijakan organisasi. Kritik dapat menjadi penghambat baik terhadap proses organisasi maupun proses pembuatan alternatif pemecahan masalah.
  • Alternatif-alternatif yang diusulkan perlu mempertimbangkan konsekuensi yang muncul dalam jangka pendek, maupun jangka panjang.
  • Alternatif–alternatif yang ada saling melengkapi satu dengan lainnya. Gagasan yang kurang menarik , bisa menjadi gagasan yang menarik bila dikombinasikan dengan gagasan-gagasan lainnya. Contoh : Pengurangan jumlah tenaga kerja, namun kepada karyawan yang terkena dampak diberikan paket kompensasi yang menarik.
  • Alternatif-alternatif yang diusulkan harus dapat menyelesaikan masalah yang telah didefinisikan dengan baik. Masalah lainnya yang muncul, mungkin juga penting. Namun dapat diabaikan bila, tidak secara langsung mempengaruhi pemecahan masalah utama yang sedang terjadi.

C. Evaluasi Alternatif-Alternatif Pemecahan Masalah

Langkah ketiga dalam proses pemecahan masalah adalah melakukan evaluasi terhadap alternatif-alternatif yang diusulkan atau tersedia. Dalam tahap ini , kita perlu berhati-hati dalam memberikan bobot terhadap keuntungan dan kerugian dari masing-masing alternatif yang ada, sebelum membuat pilihan akhir. Seorang yang terampil dalam melakukan pemecahan masalah, akan memastikan bahwa dalam memilih alternatif-alternatif yang ada dinilai berdasarkan:

Tingkat kemungkinannya untuk dapat menyelesaikan masalah tanpa menyebabkan terjadinya masalah lain yang tidak diperkirakan sebelumnya.

Tingkat penerimaan dari semua orang yang terlibat di dalamnya
*

Tingkat kemungkinan penerapannya
*

Tingkat kesesuaiannya dengan batasan-batasan yang ada di dalam organisasi; misalnya budget, kebijakan perusahaan, dll.

Berikut adalah karakteristik-karakteristik dari evaluasi alternatif-alternatif pemecahan masalah yang baik:

  1. Alternatif- alternatif yang ada dinilai secara relatif berdasarkan suatu standar yang optimal, dan bukan sekedar standar yang memuaskan
  2. penilaian terhadap alternative-alternatif yang ada dilakukan secara sistematis, sehingga semua alternatif yang diusulkan akan dipertimbangkan.
  3. Alternatif-alternatif yang ada dinilai berdasarkan kesesuaiannya dengan tujuan organisasi dan mempertimbangkan preferensi dari orang-orang yang terlibat didalamnya.
  4. Alternatif-alternatif yang ada dinilai berdasarkan dampak yang mungkin ditimbulkannya, baik secara langsung, maupun tidak langsun,
  5. Alternatif yang paling dipilih dinyatakan secara eksplisit/tegas.

D. Terapkan Solusi dan Tindak- Lanjuti

Langkah terakhir dari metode ini adalah menerapkan dan menindak-lanjuti solusi yang telah diambil. Dalam upaya menerapkan berbagai solusi terhadap suatu masalah, kita perlu lebih sensitif terhadap kemungkinan terjadinya resistensi dari orang-orang yang mungkin terkena dampak dari penerapan tersebut. Hampir pada semua perubahan, terjadi resistensi. Karena itulah seorang yang piawai dalam melakukan pemecahan masalah akan secara hati-hati memilih strategi yang akan meningkatkan kemungkinan penerimaan terhadap solusi pemecahan masalah oleh orang-orang yang terkena dampak dan kemungkinan penerapan sepenuhnya dari solusi yang bersangkutan (Whetten & Cameron, 2002).

Berikut adalah karakteristik dari penerapan dan langkah tindak lanjut yang efektif:

  1. Penerapan solusi dilakukan pada saat yang tepat dan dalam urutan yang benar. Penerapan tidak mengabaikan faktor-faktor yang membatasi dan tidak akan terjadi sebelum tahap 1, 2, dan 3 dalam proses pemecahan masalah dilakukan
  2. Penerapan solusi dilakukan dengan menggunakan strategi “sedikit-demi sedikit” dengan tujuan untuk meminimalkan terjadinya resistensi dan meningkatkan dukungan.
  3. Proses penerapan solusi meliputi juga proses pemberian umpan balik. Berhasil tidaknya penerapan solusi, harus dikomunikasikan , sehingga terjadi proses pertukaran informasi
  4. Keterlibatan dari orang-orang yang akan terkena dampak dari penerapan solusi dianjurkan dengan tujuan untuk membangun dukungan dan komitmen
  5. Adanya sistim monitoring yang dapat memantau penerapan solusi secara berkesinambungan. Dampak jangka pendek, maupun jangka panjang diukur. Penilaian terhadap keberhasilan penerapan solusi didasarkan atas terselesaikannya masalah yang dihadapi, bukan karena adanya manfaat lain yang diperoleh dengan adanya penerapan solusi ini.
  6. Sebuah solusi tidak dapat dianggap berhasil bila masalah yang menjadi pertimbangan yang utama tidak terselesaikan dengan baik, walaupun mungkin muncul dampak positif lainnya

cape ngetikna ge euy…………………

Permalink Tinggalkan sebuah Komentar

Banting Setir

Februari 10, 2008 at 9:08 am (rahasia) (, , )

Keterpaksaan & Tawaran

Menurut Aristotle, faktor yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu itu pada umumnya : perubahan, keadaan alam, paksaan, kebiasaan, visi (alasan mendasar), dorongan dari dalam (semangat atau motivasi, keinginan atau kemauan). Petuah ini mungkin pas untuk menjelaskan bagaimana seseorang akhirnya memilih pindah bidang karir, profesi atau usaha. Kita sering menyebutnya dengan istilah banting setir.

Memang harus diakui bahwa mengambil keputusan untuk banting setir ini bukan hal yang mudah. Ini mungkin terkait dengan beberapa hal di bawah ini:

1. Ketidakpastian.

Yang kita pedomani saat hendak melakukan jurus banting setir adalah kalkulasi di atas kertas putih, bayangan mental, perkiraan rasional atau peta (the map). Seperti kata Alfred Korzybzki: “The map is not the territory.” Artinya, meski kita sudah memperhitungkan sebegitu rupa, tetapi kita pun tahu bahwa dalam prakteknya nanti kenyataan bisa bergerak liar. Tidak adanya garansi keberhasilan itulah yang membuat kita berat.

2. Keahlian, pengalaman, dan jaringan.

Ketiga hal ini juga kerap membuat kita merasa berat untuk banting setir. Di dalam hati kecil memang ada keinginan untuk banting setir karena alasan-alasan yang sudah kita kantongi, tetapi kita terkadang masih meraba-raba sejauh mana kita memiliki keahlian, pengalaman dan jaringan di bidang baru, profesi baru atau usaha baru itu. Ini juga yang terkadang membuat kita berat.

3. Penghasilan.

Sebagian besar kita ingin melakukan praktek banting setir untuk mendongkrak penghasilan. Kita ingin mendapatkan penghasilan yang lebih dan itu menurut kita tidak mungkin didapat dari pekerjaan atau profesi yang kita geluti selama ini. Meski begitu, kita juga sadar bahwa penghasilan yang lebih banyak itu sepertinya tidak mungkin bisa didapatkan langsung. Ada masa transisi yang mungkin jauh lebih buruk dari yang kita perkirakan. Membayangkan masa transisi inilah yang membuat kita berat.

Ketiga alasan itulah yang kerap membikin banyak orang lebih memilih selamat dari ancaman ketimbang memperjuangkan yang lebih bagus (security vs maturity). Dari banyak orang yang saya ajak bicara, umumnya mereka mengatakan bahwa keputusannya untuk banting setir dulu karena “keterpaksaan” atau adanya force tertentu yang sifatnya sudah benar-benar super urgent. Ini misalnya saja: terkena PHK, bertengkar sama atasan, punya kasus di tempat kerja lama, sudah tidak menemukan celah yang memberikan harapan lebih bagus di bidang yang sekarang ini, bangkrut, merasa sudah kalah bersaing, harus pensiun, harus bayar utang, sudah malu mengajukan aplikasi, dan seterusnya.

Ada juga yang akhirnya memutuskan untuk banting setir karena ada tawaran atau peluang (new opportunity). Kalau membaca laporan Eric Digest (Changing Career Pattern, Brown, Bettina Lankard, 2000), ini biasanya dialami oleh orang-orang yang baru memasuki pasar kerja (alumni baru). Perkembangan sains dan teknologi telah memberikan berkah tersendiri buat mereka. Kebanyakan mereka banting setir bukan karena nganggur, tetapi karena tawaran dan peluang.

Apa yang perlu dipersiapkan?

Teorinya, ketika apa yang kita tekuni itu belum membuahkan hasil seperti yang kita inginkan, maka idealnya diperlukan dua sikap. Pertama, kita bisa tetap menekuninya sambil mengembangan berbagai opsi dan alternatif (memperbanyak, memperluas atau meningkatkan kualitas). Kedua, kita banting setir untuk meraih yang lebih bagus.

Bagi yang dalam posisi “terpaksa” harus banting setir, rasanya sudah tidak relevan lagi Anda memikirkan berat atau ringan. Berat atau ringan sama saja, sebab Anda harus menghadapinya. Justru yang lebih dibutuhkan adalah memperkuat persiapan dan pertahanan. Ini antara lain adalah:

1. SWOT-lah Diri Anda

Ini istilah yang sudah jamak kita ketahui. SWOT berarti mengetahui kekuatan (Strength), kelemahan (Weakness), peluang (Opportunity), dan ancaman (Threat). Dengan kata lain, lihat dulu ke dalam lalu lihatlah ke luar. Ini penting supaya kita tidak sampai salah memilih bidang atau profesi baru. Atau minimalnya tidak terlalu jauh relevansinya. Sekedar sebagai masukan, kita bisa memilih bidang atau profesi yang relevansinya dekat dengan kita, misalnya: pengalaman kerja selama ini, latar belakang pendidikan, kebiasaan yang sudah kita jalani (hobi, interest, dst) atau lingkungan (kebutuhan pasar di tempat kita berada).

2. Yakinilah alasan

Banting setir pekerjaan, profesi atau usaha itu mirip seperti bertempur dalam cuaca berkabut. Tidak ada teori yang bisa menjelaskan dari A – Z bagaimana akhir sebuah pertempuran nanti. Dengan logika ini, ada nasehat dari Sun Zu yang bisa diingat. Lima peraturan bertempur menurut Sun Zu adalah:

• Keyakinan: harus meyakini alasan kenapa anda bertempur

• Sekutu: pilihlah sekutu yang saling memperkuat

• Waktu: perhitungkan waktu yang tepat untuk bertempur

• Ruang / lokasi: pahami di mana pertempuran akan terjadi

• Strategi: tentukan strategi yang cocok

Jika anda tidak memiliki alasan yang anda yakini atau tidak meyakini alasan yang anda ciptakan sendiri, mungkin spirit anda akan gampang dipatahkan oleh realitas yang akan anda hadapi. Studi mengungkap bahwa keyakinan dan optimisme yang dimiliki oleh mereka yang berhasil banting setir itu sebesar di atas 80 % (yakin berhasil). Sementara, yang gagal di tengah jalan hanya memiliki keyakinan dan optimisme sebesar antara 50–60 % (setengah yakin setengah ragu.

3. Menggali dan memperluas

Semua bidang di dunia ini memiliki keakhasan yang merupakan hasil bauran dari perbedaan dan persamaan. Ada prinsip-prinsip umum yang sama dan juga ada tehnik-tehnik spesifik yang berbeda. Karena itu, kita tidak bisa memakai pengetahuan dan pengalaman masa lalu seratus persen tetapi juga tidak bisa membuangnya seratus persen. Yang kita butuhkan adalah menggali dari yang lama dan memperluas yang baru. Meminjam istilah yang dipakai para ahli di bidang karir, kita perlu melakukan “stretching” pengalaman dan pengetahuan di masa lalu dan menjadi learner (membaca teori, mengoreksi praktek). Dengan latar belakang yang lebih “heterogen”, bisa jadi kita malah akan menjadi lebih unggul dari pemain lama yang latar belakangnya homogen.

4. Memperluas jaringan

Seperti kata Sun Zu, anda membutuhkan sekutu yang cocok, pasangan yang pas atau mitra yang OK. Tidak mungkin anda bisa memenangkan pertempuran dengan hanya seorang diri. Hanya memang perlu diingat, untuk mendapatkan yang cocok ini biasanya membutuhkan eksplorasi (pengembaraan). Di sini yang dibutuhkan adalah kehati-hatian dan keberanian. Hati-hati supaya anda tidak ketemu orang yang salah dan berani supaya jaringan anda luas.

Di lain pihak, ada baiknya juga kalau anda membuat semacam peta dukungan. Kenapa? Untuk usaha yang sudah mapan atau karir yang sudah mantap, biasanya kebutuhan kita terhadap kontribusi orang lain itu sudah terukur. Tetapi untuk yang baru merintis, biasanya banyak sekali kebutuhan yang tidak bisa kita cover sendiri dan tidak bisa pula dapat dicover oleh satu orang. Artinya, kita butuh banyak orang yang bisa menjadi sumber solusi, seperti yang dilakukan Henry Ford. Butuh apa saja dia punya orang yang bisa dihubungi. Kira-kira begitulah ilustrasinya.

5. Gunakan “Cyberneticlike”

Ini adalah teori tentang model berpikir. Lawannya adalah “Robotlike” thingking model. Cyberneticlike adalah model berpikir yang menekankan pentingnya kecepatan dalam beradaptasi dengan lingkungan baru, stimuli baru atau perubahan baru dan kemampuan menemukan sumber informasi atau kemampuan mengumpulkan informasi yang kita butuhkan. Untuk orang / usaha yang sudah settle, sumber informasi dan jenis informasi yang kita butuhkan biasanya sudah ada standar. Tapi ini biasanya tidak berlaku untuk orang yang baru menerjuni bidang baru. Karena itu dibutuhkan kemampuan beradaptasi dengan kecepatan tinggi.

6. Fokus pada kebutuhan dan masalah

Untuk usaha atau pekerjaan yang sudah mapan, kita punya banyak pilihan dan resource. Ibarat orang menembak, jika satu peluru meleset, kita masih punya cadangan. Tapi ini jarang terjadi pada usaha atau pekerjaan yang baru kita rintis. So, batasi keinginan, ambisi yang berlebihan dan khayalan yang muluk atau gengsi. Bila kebutuhan kerja masih bisa ditangani dengan peralatan lama yang masih layak, ya nggak usah harus beli serba baru. Bila lobi masih bisa dilakoni dengan cara yang pantas, ya nggak usah pakai cara yang “wah”. Jor-joran terkadang malah kurang bagus bagi kesehatan pikiran dan kemajuan usaha kita.

7. Lapisi dengan “resource”

Idealnya, sebelum kita memutuskan untuk banting setir, harus ada resource atau sumber solusi yang bisa diandalkan. Ini misalnya saja kita memiliki pekerjaan lain yang bisa membantu (supportive), punya usaha lain, punya tabungan, punya pasangan yang masih kerja, punya keluarga yang membantu.

Bagaimana kalau tidak punya sama sekali? Kita harus berani menangani pekerjaan apa saja sebagai bantuan untuk mewujudkan rencana. Pinter-pinternya kita membagi waktu dan konsentrasi. Tehnik ini sudah pernah dijalani Iwan Fals, Bob Sadino dan sejumlah manusia lain sebelum banting setir. Sambil ngamen dan sambil nyopir, Iwan tetap menjalankan agenda pertamanya, yaitu menjadi musikus. Sama juga seperti yang dilakoni JK. Rowling. Sambil menjalani pekerjaan yang ia tidak sukai, ia tetap berlatih menulis.

Apa yang harus Anda hindari?

Dari praktek yang saya amati, ada beberapa hal yang menurut saya perlu kita hindari. Ini antara lain:

1. Kalah oleh ketakutan

Ketakutan itu bisa menjadi penggerak kemajuan, tetapi juga bisa menjadi penghambat. Kapan menjadi penggerak? Ketika ketakutan itu kita gunakan untuk mengantisipasi atau melakukan sesuatu dengan kualitas yang lebih bagus. Lalu kapan akan menjadi penghambat? Ketika kita yang dikuasai ketakutan. Kita takut gagal tetapi ketakutan itu tidak kita gunakan untuk mengantisipasi atau memperbiki. Atau kita menggunakannya untuk melakukan sesuatu setengah hati, setengah takut setengah memaksakan diri.

Dari pengamatan Tom Hopkins, seperti yang ditulisnya dalam “Eliminate Demotivators From Your Life”, ada empat hal yang kerap menjadi demotivator seseorang. Keempat hal itu adalah:

§ Rasa terancam oleh ketidakpastian (fear of insecurity).

§ Rasa takut oleh jangan-jangan nanti gagal (fear of failure).

§ Spirit yang setengah-setengah dalam bertindak (self doubt)

§ Rasa sakit saat menghadapi perubahan (pain of change) atau pasrah pada nasib buruk.

Dalam prakteknya, apa yang dipesankan petuah kuno itu kerap terjadi. Petuah kuno itu berpesan: “Barang siapa yang takut lubang, bisanya malah masuk ke lubang itu.” Supaya kita tidak kalah oleh ketakutan sendiri, ya gunakankanlah ketakutan itu sebagai antisipator, energizer atau “corrector”.

2. Ikut-ikutan

Kita perlu belajar banyak dari orang lain yang sudah jadi, tetapi perlu menghindari praktek ikut-ikutan. Apa bedanya “belajar dari” dan “ikut-ikutan”? Belajar dari orang lain artinya kita menjadikan apa yang dilakukan orang lain sebagai materi yang akan kita gunakan untuk memperbaiki apa yang kita lakukan atau untuk mencegah kegagalan karena “kebodohan”. Belajar dari orang lain artinya diri kita aktif di situ dengan seperangkat pengetahuan atau pengalaman yang kita miliki atau yang sudah kita jalankan. Silahkan saja Anda mempelajari cara yang sudah dipakai orang lain dan itu terbukti berhasil, tetapi jangan lupa menggunakan prinsip “belajar dari”, bukan ikut-ikutan atau sekedar menjiplak!

3. Jangan menjalaninya sebagai beban

Terlepas apakah Anda banting setir karena terpaksa atau karena inisiatif sendiri, sekarang ini sudah tidak saatnya lagi Anda menjalaninya dengan penuh beban. Penuh beban di sini artinya Anda tidak mencintai bidang usaha atau profesi yang Anda pilih. Seperti yang sudah kita bahas sebelumnya, ini biasanya muncul sebagai akibat dari keinginan-keinginan yang tidak terkontrol atau keinginan yang tidak sesuai dengan keadaan kita hari ini. Keinginan demikian dapat menciptakan hubungan yang tidak harmoni dengan diri sendiri. Lama kelamaan lahirlah konflik diri. Silahkan punya keinginan asalkan realistis.

4. Jangan bongkar pasang rencana karena nafsu

Memang ada kenyataan yang “menuntut” kita perlu berubah di tengah jalan. Entah itu rencana, cara, strategi atau bahkan bidang usaha atau profesi. Cuma, di sini perlu dibedakan mana bongkar-pasang yang diikuti dengan hawa nafsu (tanpa kematangan berpikir dan kesabaran) dan mana keharusan untuk berubah sebagai strategi atau jurus yang lebih bagus.

Dari masukan beberapa orang yang saya ajak bicara, ada kalimat yang bisa kita pedomani. Orang yang matang itu melakukan rencananya sepenuh hati dan mengubah rencananya dengan hati-hati. Ini beda dengan orang yang belum matang. Mereka menjalankan rencanya setengah hati lalu mengubahnya “seenak-hati”(baca: bongkar pasang). Bongkar pasang demikian seringkali justru malah memperlambat perjalanan menuju tujuan.

5. Tak tahu keterbatasan

Ada pengalaman kecil dari orang yang saya kenal. Ini memang terjadi pada wilayah bisnis yang dia jalani. Awalnya, dia coba menangani semua urusan sendiri, dari mulai mencari uang, mengelola uang, menciptakan produk, memasarkan, dan lain-lain. Lama kelamaan dia mulai sadar kalau ternyata cara ini malah membikin dirinya tidak produktif. Terlalu banyak hal yang kita tangani terkadang malah membuat kita tidak produktif. Jadi, di samping kita perlu mengetahui apa saja yang bisa kita tangani, kita pun perlu tahu apa saja yang belum / tidak bisa kita tangani sendiri. Ini agar kita menjadi lebih produktif. Mengetahui kekuatan sama pentingnya dengan mengetahui keterbatasan.

Semoga bisa menambah jurus anda!

Permalink Tinggalkan sebuah Komentar

Membudayakan Coaching di Tempat Kerja

Februari 10, 2008 at 9:06 am (rahasia) (, , , )

Dari berbagai studi terungkap bahwa sebenarnya karyawan itu menyukai kegiatan semacam training, seminar, workshop, dan semisalnya. Apalagi jika misalnya kegiatan semacam itu diadakan di luar kantor, katakanlah seperti di puncak, di hotel, di luar kota atau di luar negeri. Alasannya tentu bermacam-macam. Mungkin ada yang karena ingin menambah pengetahuan, meningkatkan keahlian, mendapatkan sertifikasi keahlian, memperluas jaringan, ingin mendapat kawan baru, ingin berlibur, atau hanya karena ingin menikmati budget pengembangan SDM yang sudah disediakan organisasi.

Selain itu, secara manusiawi pun sebenarnya perusahaan atau pimpinan akan lebih bangga, lebih bahagia dan lebih senang kalau sanggup mengirim anak buahnya ke tempat pelatihan, seminar atau workshop. Mengapa? Normalnya, manusia itu akan lebih bahagia kalau bisa memberi apa yang dibutuhkan orang lain. Apalagi orang lain yang diberi itu adalah orang yang selama ini membantu atau bekerja dengannya.

Cuma, dalam prakteknya hanya sedikit perusahaan atau organisasi yang sanggup mengirim anak buahnya ke tempat pelatihan, seminar atau workshop. Mengapa? Tentu ini sebabnya beragam. Mungkin ada yang disebabkan dananya tipis. Training, seminar atau workshop sekarang ini biayanya gila-gilaan. Apalagi jika diadakan di tenmpat-tempat yang elit. Meski semua mengakui ini penting tetapi prakteknya hanya perusahaan atau organisasi tertentu saja yang mau dan mampu.

Selain karena dana, waktu pun juga menjadi masalah. Untuk sebagian organisasi atau perusahaan, bisa dibilang tidak ada waktu untuk mengirim anak buah ke tempat pelatihan yang memakan waktu lebih dari satu hari. Ini karena pekerjaan di kantor sendiri numpuk sampai ada yang lembur segala. Mengirim anak buah ke tempat semacam itu bisa dianggap pemborosan. Tak hanya soal dana dan waktu, efektivitas training, seminar dan workshop, pun menjadi perhitungan sendiri.

Kalau mencermati berbagai hasil penelitian, ternyata tidak secara otomatis kegiatan training, seminar atau workshop itu bisa efektif bagi organisasi atau perusahaan. Secara hasil, penelitian membaginya menjadi tiga kategori, yaitu: a) positive transfer, b) negative transfer, dan c) poor transfer.

Kita pasti sepakat bahwa meningkatkan skill karyawan (dalam pengertian yang luas) itu penting. Soal caranya bagaimana, ini memang butuh penyesuaian berdasarkan keadaan kita masing-masing. Untuk sebagian kita yang kebetulan belum bisa meningkatkan karyawan dengan mengirim mereka ke pelatihan, seminar atau workshop, cara lain yang perlu kita lakukan adalah membudayakan coaching.

Apakah Coaching itu ?

Coaching adalah pembinaan. Secara teoritis, coaching adalah proses pengarahan yang dilakukan atasan / senior untuk melatih dan memberikan orientasi kepada bawahanya tentang realitas di tempat kerja dan membantu mengatasi hambatan dalam mencapai prestasi kerja yang optimal. Kegiatan ini akan sangat tepat diberikan kepada orang baru, orang yang menghadapi pekerjaan baru, orang yang sedang menghadapi masalah prestasi kerja atau orang yang menginginkan pembinaan kerja. Tujuannya adalah untuk memperkuat dan menambah kinerja yang telah berhasil atau memperbaiki kinerja yang bermasalah

Kalau diuraikan dalam kata-kata, manfaat coaching ini antara lain:

1. Meningkatkan TC ke DC

Istilah ini saya pinjam dari literatur kompetensi. Di sana dikatakan bahwa TC (thereshold competency) adalah kompetensi dasar yang dimiliki seseorang dalam melaksanakan pekerjaannya tetapi kompetensi ini belum bisa dibilang sebagai keunggulan. Jika seorang sekretaris baru bisa menyalin surat ke komputer, jika seorang operator hanya bisa mengangkat telepon, jika seorang sales baru bisa mengetahui produk dan menelpon orang atau mengirim faksimile penjualan, ini semua adalah TC. Memang itu tugas dasarnya.

Sedangkan DC adalah Differentiating Competencies (DC). DC adalah karakteristik yang dimiliki oleh orang-orang yang berkinerja tinggi (high performer) dan yang tidak dimiliki oleh orang-orang yang berkinerja rendah (low) atau kurang (poor). Kita bisa ambil contoh misalnya seorang sales yang sudah menguasai keahlian-keahlian yang dibutuhkan untuk memelihara pelanggan yang menghasilkan hubungan kausalitas dengan penjualan. Sales seperti ini bisa dikatakan orang yang berkinerja tinggi dengan kompetensi yang dimiliki.

Persoalan yang kita hadapi adalah, bagaimana meningkatkan TC seseorang menjadi DC? Disinilah coaching berperan. Kalau kita hanya menyerahkan (memasrahkan) urusan ini kepada masing-masing individu, bisa-bisa saja. Cuma saja di sini kerap menimbulkan masalah, sebab tidak semua individu sadar, tidak semua individu tahu, dan tidak semua individu menempuh cara yang efektif dan efisien untuk meningkatkan keahliannya dari TC ke DC. Konon, 98 % dari usaha untuk membangun kompetensi terjadi melalui pekerjaan yang dilakukan

2. Jalan menemukan 3R

Meski semboyannya SDM itu aset, tetapi prakteknya tidak seluruhnya begitu. Banyak SDM yang belum menjadi aset. Kata orang-orang SDM: “Hanya SDM yang bagus yang menjadi aset usaha”. Bagus ini apa penjelasannya? Penjelasan yang umum bisa kita singkat dengan 3 R: right people, right job and right performance.

Persoalan yang kita hadapi adalah bagaimana menemukan 3R ini? Tentu kita sadar bahwa 3R ini bukan sebuah hasil yang final (one-off). Amat sangat jarang kita bisa langsung menemukan orang yang tepat untuk ditempatkan di pekerjaan yang tepat agar bisa mencapai performansi yang tepat (tinggi). Yang sering terjadi, 3R ini ini dicapai melalui proses. Jangan kan karwayan, presiden atau menteri atau pejabat negara yang sudah diseleksi sedemikian rupa pun tidak bisa langsung mencapai 3R ini. Bahkan waktu seratus hari pun dikatakan belum valid untuk menilai kinerja presiden dan menterinya.

Karena itu, coaching bisa menjadi salah satu jalan untuk menemukan 3R. Kalau pun 3R ini belum bisa diwujudkan ke tingkat yang ideal, tapi setidak-tidaknya coaching yang kita lakukan akan memperluas wilayah “interkoneksi” antara ‘workforce requirement’ dan ‘workforce capabilities’. Kalau pekerjaan yang ada menuntut orang yang punya skill berskala 7, sementara skill orang-orang yang ada hanya sampai pada skala 5, ini tentu wilayah interkoneksinya belum nyambung. Supaya nyambung, harus dinaikkan.

3. Jalan menemukan pemimpin dari dalam

Dulu, praktek bajak-membajak tenaga ahli pernah menjadi isu besar di beberapa media massa. Sekarang pun praktek semacam ini masih kerap dilakukan meski sudah jarang dijadikan berita. Adakah sesuatu yang salah dengan praktek bajak-membajak ini? Secara konsep memang tidak. Cuma dalam prakteknya, tidak semua orang yang kita bajak itu menjadi “berkah”. Ada yang malah menjadi beban. Artinya, meski konsep ini bisa jadi benar di teorinya tetapi untuk mempraktekkannya butuh konteks yang tepat dan alasan yang spesifik.

Kalau melihat hasil studi yang dilakukan Jim Collin, rupanya praktek bajak-membajak ini kurang digemari oleh para pemimpin usaha yang sudah sanggup menggerakkan usahanya dari good ke great. Mereka rupanya punya tradisi untuk mengembangkan seorang pemimpin (senior atau tenaga ahli) dari dalam. Dipikir-pikir, ini memang rasional. Orang dalam yang kita kembangkan, akan memiliki pengetahuan tentang keadaan secara lebih mendalam ketimbang tenaga baru yang kita bajak.

Nah, kalau melihat ke sini, coaching bisa kita jadikan instrumen atau jalan untuk melahirkan seorang pemimpin dari dalam. Dilihat dari efektivitas dan efisiensinya, cara ini mungkin lebih menjamin ketimbang membajak tenaga baru yang masih “abu-abu”. Kalau pun orang yang kita coaching itu tidak menjadi pemimpin di tempat kita, tetapi setidak-tidaknya kerjanya sudah lebih bagus.

Hambatan di Lapangan

Apa yang perlu di-coaching-kan? Kalau mengacu pada standar yang umum, yang perlu di-coaching-kan adalah hard skill dan soft skill (istilah lain: soft competency dan hard competency, job skill dan mental skill). Semua karyawan menginginkan skill-nya naik, tapi cara yang mereka inginkan ternyata (yang paling digemari) adalah face-to-face coaching di tempat kerja. 88 % jawaban responden yang diteliti meyakini bahwa memiliki seorang mentor atau coacher di tempat kerja merupakan hal yang penting untuk kemajuan karirnya (CCL, Emerging Leader Research Survey Summary Report, 2003)

Meski sedemikian rupa coaching itu pada hakekatnya dibutuhkan, tetapi prakteknya masih belum banyak yang melakukan. Beberapa hal yang kerap menghambat terlaksananya kegiatan yang mulia ini, misalnya:

1.

Budaya menghakimi / memarahi

Kita langsung memarahi karyawan saat melakukan kesalahan. Marah terkadang tidak bisa dihindari tetapi yang kerap kita lupakan adalah apa yang kita lakukan setelah marah. Kalau yang kita lakukan membenci atau menjauhi, tentu akan berbeda efeknya dengan ketika yang kita lakukan setelah itu adalah mendekati dan meng-coach-nya.

2.

Budaya membiarkan

Kita membiarkan karyawan bekerja sendiri-sendiri karena kita malas atau tidak peduli dengan skill mereka. Membiarkan seperti ini tentu berbeda dengan membiarkan yang punya pengertian memberi kesempatan untuk mandiri dalam menerapkan pengetahuan.

3.

Budaya mengerjakan sendiri

Kita menangani sebagian besar pekerjaan dan enggan untuk mendelegasikannya kepada yang lain karena kurang percaya

4,

Budaya mengharapkan hasil yang instan

Kita mengharapkan hasil yang instan dari apa yang kita instruksikan pada mereka.

5.

Budaya arogansi birokrasi

Kita menjaga jarak dengan karyawan untuk melindungi gengsi atau kita enggan turun ke bawah. Umumnya kita, semakin tinggi jabatan atau posisi, justru semakin jauh dari realitas yang bersentuhan langsung dengan manusia dan masalahnya di bawah.

Dan lain lain seterusnya

Kalau mengacu pada teori pendidikan, meng-coach karyawan itu sebenarnya juga termasuk mendidik. Bicara soal pendidikan ini mungkin ada satu hal yang perlu kita ingat bahwa metode yang kita gunakan dalam mendidik orang itu jauh lebih berperan penting ketimbang materi yang kita sampaikan. Materi yang bagus akan diresponi tidak bagus kalau metode yang kita gunakan tidak cocok dengan keadaan orang yang kita coach.

Beberapa hal yang penting

Untuk sebagian orang, kegiatan meng-coaching ini mungkin sudah menjadi sebuah realitas tetapi belum ada namanya. Artinya, kegiatan ini sudah dipraktekkan tetapi tidak memakai nama coaching. Sebaliknya juga, mungkin untuk sebagian orang, kegiatan meng-coaching ini hanya sebuah nama tetapi tanpa realitas. Artinya, kita hanya tahu apa itu coaching, manfaatnya apa, tujuannya apa, tetapi tidak pernah kita praktekkan.

Terlepas itu sudah menjadi realitas atau baru sebatas nama, tetapi sebetulnya ada beberapa hal yang penting untuk diingat, yaitu:

1. Memiliki data yang akurat

Data di sini mungkin tidak harus kita artikan sebagai data dalam pengertian yang formal dan rumit. Data di sini bisa juga kita artikan sebagai catatan pribadi yang berisikan tentang gap antara skill yang dimiliki karyawan dengan tuntutan pekerjaan. Bisa juga berisi masalah yang dihadapi si karyawan dalam kaitannya dengan kinerjanya. Bisa pula berisi tentang perkembangan si karyawan yang kita coaching itu dari waktu ke waktu. Dengan memiliki apa yang kita sebut data itu, berarti ketika kita hendak meng-coach orang, kita sudah tahu apa yang perlu dan apa yang belum perlu, mana yang perlu ditekankan dan mana yang belum perlu, dan seterusnya.

2. Menemukan metode yang ”teachable”

Seperti yang saya katakan di muka, bahwa dalam meng-coaching ini memang kita dituntut untuk memerankan diri sebagai pendidik. Hal yang terpenting di sini adalah menggunakan atau menemukan metode mendidik yang dapat membuat orang yang kita didik itu bisa mendidik orang lain dan begitu seterusnya. Dengan begitu, tanpa harus kita yang turun langung, program coaching tetap berjalan di tempat kita. Ini tentu sangat positif. Selain meminterkan orang lain, ini juga bisa membentuk lingkungan yang positif.

3. Menghidupkan, bukan mematikan

Ini soal cara bagaimana meng-coach orang. Meski kita sudah sama-sama tahu bahwa cara yang bagus adalah menghidupkan semangat orang, tetapi dalam prakteknya belum tentu pengetahuan itu kita gunakan. Ada cara yang menghidupkan tetapi ada cara yang mematikan, ada cara yang mendorong tetapi ada cara yang malah menarik. Cara yang kita gunakan terkadang bisa bertentangan dengan niat yang kita maksudkan. Karena itu, meski niat kita baik, namun kalau cara yang kita gunakan itu mematikan, me-looking-down-kan, atau menghinakan, bisa jadi hasilnya bukan malah bagus. Semoga bermanfaat!!

Permalink Tinggalkan sebuah Komentar